Penjelasan Nama Allah Ar-Rabb(Bag. 4)
Baca pembahasan sebelumnya Penjelasan Nama Allah “Ar-Rabb” (Bag. 3)
Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,
Tertutupnya pintu ketaatan
Di antara bentuk tarbiyah rabbani yang sangat bermanfaat bagi seorang mukmin adalah menutup pintu ketaatan untuk melindungi dan memeliharanya dari sombong, ujub, mengagumi dan menyanjung dirinya sendiri, atau silau terhadap prestasi ibadahnya kepada Allah Ta’ala. Ini hakikatnya adalah bentuk rahmat dan penjagaan dari Allah Ta’ala. Allah Mahatahu siapa di antara hamba-Nya yang jika dibukakan pintu ketaatan, dia akan menjadi ujub dan sombong.
Seorang pria bertanya kepada Sufyan Ats-Tsauri, “Mengapa ketika aku meminta sesuatu kepada Allah Ta’ala, Dia mencegahku dari memperolehnya?”
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah menjawab, “Allah mencegahmu untuk memperolehnya itu hakikatnya merupakan anugerah. Sebab, Allah bukan mencegahmu karena kikir atau tidak punya apa yang kamu minta, dan bukan pula karena Dia sendiri memerlukannya atau membutuhkannya, tetapi Dia mencegahmu tidak lain karena kasih sayang-Nya kepadamu.”
Jika demikian halnya, maka pertanyaan yang muncul adalah “Manakah yang lebih baik bagi seorang hamba?” Misalnya apakah lebih baik dia mendirikan salat malam, lalu di pagi hari dia kagum dan membanggakan dirinya, ataukah lebih baik ia tidur dan di pagi hari menyesali kelalaiannya?
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,
“Anda tidur di malam hari (sehingga tidak salat malam) dan menyesal di pagi harinya adalah lebih baik daripada Anda salat malam dan di paginya Anda ‘ujub. Sebab, seorang yang ujub tidak akan pernah diterima amalnya.
Anda tertawa tetapi Anda mengakui dosa itu lebih baik daripada Anda menangis unntuk memamerkannya. Rintihan orang-orang yang berdosa sesungguhnya lebih dicintai Allah daripada lantunan zikir dari orang-orang yang bertasbih namun memamerkannya.” (Tahdzib Madarijus Salikin, hal. 120).
Di sisi yang lain, Allah bisa jadi juga men-tarbiyah seseorang dengan ditutupnya pintu ketaatan baginya akibat dosa yang dia lakukan sehingga Allah beri kesempatan kepadanya untuk bertobat darinya. Karena ketaatan kepada Allah itu tidaklah terealisasi, kecuali dengan taufik dari Allah Ta’ala. Sedangkan kemaksiatan itu sebab penghalang mendapatkan taufik dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, sebagian penukilan dari salaf saleh mengaitkan dosa dengan ketidakberhasilan melakukan ketaatan.
Ini bentuk tarbiyah dari Allah bahwa Allah menampakkan kebaikan-Nya dalam pemberian-Nya serta menampakkan kekuasaan-Nya dalam pencegahan-Nya.
Bisa jadi Allah Ta’ala menganugerahkan kepadamu sesuatu, namun dengan cara mencegahmu dari sesuatu. Begitu pula sebaliknya, bisa jadi Allah mencegahmu dari sesuatu, namun dengan cara menganugerahkan kepadamu sesuatu. Dari sinilah kita sadar bahwa pencegahan itu hakikatnya pemberian!
Semua itu agar seorang mukmin benar-benar mengesakan Allah dalam rububiyyah, uluhiyyah, maupun nama dan sifat-Nya. Allah menghendakinya menjadi hamba-Nya yang murni tauhidnya dari kotoran kesyirikan, sekecil apapun.
Baca Juga: Mengenal Nama Allah “As-Samii’”
Al-Mawardi rahimahullah adalah seorang ulama ahli fikih bermazhab Syafi’i sekaligus hakim masyhur di zamannya. Beliau memiliki kitab-kitab yang banyak. Di antaranya yang terkenal adalah Al-Ahkam As-Sulthaniyyah.
Dalam salah satu kitabnya, Adabud Dunya wad Diin, ada kisah unik Al-Mawardi rahimahullah yang beliau kisahkan sendiri. Saat beliau telah selesai menulis kitab fikih tentang jual beli dengan mencurahkan kemampuan beliau merangkum dari banyak kitab ulama sehingga sampai menjadi karya yang sangat bagus. Bahkan beliau sendiri kagum terhadap bukunya tersebut, sampai merasa dirinya orang yang paling banyak mengkaji masalah jual beli tersebut.
Suatu hari datanglah dua orang badui ke majelis beliau menanyakan empat pertanyaan kasus jual beli di kampung mereka. Ternyata Al-Mawardi rahimahullah tidak bisa menjawab satupun darinya. Setelah beberapa lama ditunggu, akhirnya mereka berdua nyeletuk, ”Engkau tidak bisa menjawab pertanyaan kami, padahal Engkau syekh di majelis ini?!” Lalu, Al-Mawardi rahimahullah mengakui bahwa dirinya memang tidak bisa menjawab. Lalu, kedua orang tersebut pergi dan bertanya kepada orang yang ilmunya masih di bawah murid-murid beliau, namun ternyata ia bisa menjawabnya dengan cepat dan memuaskan kedua orang tersebut. Akhirnya, Al-Mawardi rahimahullah mengambil pelajaran dari kejadian tersebut dengan menyatakan bahwa hakikatnya dengan kejadian ini, Allah Ta’ala telah memberi taufik kepada beliau dan menegur beliau agar beliau merendahkan sifat ‘ujubnya. [1]
Nasihat besar bagi diri penulis dan seluruh da’i dan aktifis dakwah sunnah
Di antara bentuk tarbiyah Allah jenis ini adalah Allah menunjukkan keberlangsungan dakwah sunnah ini sama sekali tidaklah tergantung kepada orang tertentu, termasuk kita. Apabila kita tidak berada dalam barisan pembela dan pemakmur dakwah sunnah, maka Allah Mahamampu memilih orang lain yang akan menunaikan dakwah sunnah dalam bentuk yang lebih sempurna dan jauh lebih baik daripada apa yang telah kita lakukan.
Bukan dakwah sunnah yang membutuhkan kita, namun kitalah yang membutuhkan dakwah sunnah!
Baca Juga: Mengenal Nama Allah “Al-Hakiim”
Merasa tidak istimewa di sisi Allah
Di antara bentuk tarbiyah Allah juga adalah memunculkan dalam hati hamba-Nya bahwa ia tidak istimewa di sisi-Nya dan tidak memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari orang lain di sisi-Nya.
Mendapat musibah, kekurangan harta, jatuh ke dalam dosa, tidak dikabulkan doa, tidak dimudahkan rezeki, serta tidak dimudahkan dalam berbagai urusan kebaikan adalah perkara yang bertolak belakang dengan husnuzhan kepada diri sendiri, menyanjung diri, mengagumi, dan membangga-banggakan diri yang seolah-olah ia pasti wali Allah yang dijamin tidak takut dan tidak sedih!
Oleh karena itu, Allah terkadang menimpakan pada sebagian hamba-hamba-Nya yang beriman musibah, kekurangan harta, jatuh ke dalam dosa, tidak dikabulkan doa, tidak dimudahkan rezeki, serta tidak dimudahkan dalam berbagai urusan kebaikan agar mereka kembali mengakui kelemahan dan dosa-dosa. Di sisi lainnya, agar menguat di hati mereka kualitas tauhidnya dengan bertambah keyakinan mereka bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, Maha memiliki dan mengatur alam semesta ini sesuai dengan kehendak, kebijaksanaan, kebaikan, keadilan, dan ilmu-Nya. Allah memuliakan siapa yang Dia kehendaki dan merendahkan siapa yang Dia kehendakinya.
Ditakdirkan tidak terkenal
Di antara bentuk tarbiyah Allah atas seorang mukmin adalah ditakdirkannya tidak terkenal, dianggap oleh masyarakat tidak memiliki kedudukan penting, serta tidak berjasa.
Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan bahwa tidak terkenal termasuk nikmat terbesar atas hamba-Nya yang beriman. Karena dengan demikian, hubungannya dengan Rabb-nya akan terjaga dengan baik, jauh dari perhatian makhluk sehingga tidak merusak hubungannya dengan Allah Ta’ala. Intinya, kehidupan rohaninya menjadi tentram, tidak tersandera dengan pujian manusia.
Ulama memperumpamakan ikhlas itu seperti bau wangi gaharu yang dibakar. Semakin ditutupi, maka semakin menebarkan bau wanginya. Sedangkan bau riya’ (pamer ibadah demi pujian) itu seperti asap kayu bakar. Memang asapnya menjulang tinggi, namun segera lenyap, dan menyisakan bau menyengat. Bahkan, bau wangi keikhlasan seseorang itu tetap menyebar sampai pun ia dimasukkan liang lahat yang dalam dan ditimbun dengan galian tanah yang tebal.
Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan tentang bahayanya riya’ (pamer ibadah untuk dipuji) dalam Badi’ul Fawaid (3: 758) [2],
قلب من ترائيه بيد من أعرضت عنه , يصرفه عنك إلى غيرك ؛ فلا على ثواب المخلصين حصلت , ولا إلى ما قصدته بالرياء وصلت , وفات الأجر والمدح فلا هذا ولا ذاك !
“Hati orang yang Engkau riya’ kepadanya itu di tangan (Allah) yang Engkau berpaling dari-Nya. Allah memalingkan orang tersebut darimu kepada selainmu, sehingga Engkau tidak mendapatkan pahala orang yang ikhlas, serta Engkau juga tidak mendapatkan (pujian) yang Engkau cari dengan cara riya’. Jadi, terluputlah pahala dan pujian, sehingga tidak dapat keduanya.”
Allah Ta’ala berfirman tentang para rasul Allah Ta’ala ‘alaihimush-shalatu was-salamu,
وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنٰهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَّمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ ۗوَكَلَّمَ اللّٰهُ مُوْسٰى تَكْلِيْمًاۚ
“Dan ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan ada beberapa rasul (lain) yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu. Dan Allah berfirman langsung kepada Musa.“
Allah Ta’ala men-tarbiyah sebagian mereka dengan ketidakterkenalan, namun ketidakterkenalan itu tidaklah mempengaruhi kedudukan mereka di sisi Allah, karena mereka tetap merupakan kelompok hamba Allah yang termulia, bahkan melebihi keutamaan para nabi Allah ‘alaihimus salam, karena mereka adalah para utusan Allah Ta’ala.
Baca Juga: Perbedaan antara Nama Allah “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim”
Ketidaksegeraan mendapat pertolongan Allah
Di antara bentuk tarbiyah Allah atas seorang mukmin adalah Allah tidak segera menolongnya dan tidak segera mengangkat musibah yang menimpanya. Tabiyah ilahi ini memiliki banyak faedah, di antaranya si hamba akan menemukan hakikat kelemahan dirinya dan ketergantungannya yang amat sangat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan menyadari ia sesungguhnya tidak mampu berbuat apa-apa untuk dirinya.
Faedah lainnya, ia akan segera meruntuhkan arogansi dan rasa ke-aku-an dalam kepemilikan. Seolah-olah semua kemampuan, ilmu, harta, dan fisik yang dimilikinya itu selalu bisa dia kerahkan sekehendak hatinya. Hal ini mengakibatkan kadar merendahkan diri, merasa butuh, serta rasa harapnya kepada Allah menjadi melemah, karena ke-aku-annya dan silau dengan kehebatannya serta arogansinya selama ini.
Tarbiyah Allah ini menuntun diri hamba tersebut agar tetap selalu merasa tidak bisa terlepas dari membutuhkan pertolongan Allah, meski sekejap pandangan mata, sehingga ibadah harap, takut, dan cintanya hanya untuk Allah Ta’ala semata serta hatinya bergantung hanya kepada Allah Ta’ala semata.
Barangsiapa yang ada hal ini semua dalam dirinya, maka akan meyakini bahwa saat Allah tidak segera mengangkat musibah dari dirinya dan tidak segera menolongnya, maka hakikatnya Allah meyayangi dirinya. Hal ini karena Allah menjaga hatinya agar selalu tergantung kepada Allah semata dan memberi kesempatan kepadanya agar selalu muhasabah terhadap dosa-dosanya serta segera bertobat darinya.
Wallahu a’lam.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
[Selesai]
Baca Juga:
- Hukum Memakai Baju atau Perhiasan Tertulis Nama Allah
- Besarnya Pahala Menghitung Nama-Nama Allah Ta’ala
***
Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah
Artikel asli: https://muslim.or.id/74836-penjelasan-nama-allah-ar-rabb-bag-4.html